News Mulia - Kisah nahas AS Roma, salah satu raksasa Liga Italia dan berjuluk Serigala Ibukota yang kini tengah diambang kebangkrutan.
Bagi pecinta Liga Italia era 90-an, tentu nama AS Roma sudah tidak asing lagi lantaran tim asal kota Roma tersebut pernah merajai kompetisi di negeri Pizza dalam beberapa kesempatan.
Bahkan tim yang bermarkas di stadion Olimpico tersebut pernah menjadi bagian The Magnificent Seven Serie A, yakni tujuh tim yang mampu menguasai kompetisi liga tertinggi Italia era 90-an.
Nama besar AS Roma saat itu bersanding dengan beberapa tim legendaris asal Italia seperti Lazio, Parma, Fiorentina, Juventus, AC Milan, hingga Inter Milan.
Pada masa jayanya, AS Roma berhasil meraih tiga gelar Serie A, sembilan trofi Coppa Italia serta dua piala Supercoppa Italiana musim 2001 dan 2007.
Salah satu musim terbaik AS Roma di pentas Liga Italia sendiri terjadi pada tahun 2000, selain sukses meraih scudetto serta menghentikan dominasi AC Milan dan Juventus, di musim tersebut mereka juga dihuni oleh banyak pemain bintang.
Bayangkan saja, di lini depan mereka punya trio penyerang mematikan sekelas Vincenzo Montella, Francesco Totti dan Gabriel Batistuta. Trio tersebut membuat AS Roma sukses mencetak 68 gol dalam semusim, menjadikan mereka sebagai tim paling produktif di Italia.
Sementara pada sektor gelandang, duet Emerson dan Damiano Tommasi menjadikan AS Roma punya banyak gaya permainan yang efektif namun mematikan.
Lini belakang pun tidak kalah mentereng, dikomandoi Cafu sang Serigala Ibukota melengkapi kuartet defense mereka dengan duet Jonathan Zebina, Walter Samuel dan Vincent Candela.
Namun sayang, kiprah gemilang AS Roma di Italia tidak bertahan lama seiring dengan kebijakan Financial Fair Play yang diterapkan sejak tahun 2011 lalu.
Aturan FFP sendiri pertama kali dikeluarkan oleh UEFA yang saat itu diketuai Michel Platini. Tujuannya baik, yakni menyehatkan keuangan klub-klub sepak bola Eropa serta menghindari ketimpangan antar kesebelasan.
Dengan aturan FFP tersebut, maka klub Eropa wajib menyehatkan keuangan klub. Artinya, klub mesti cermat dalam mengeluarkan uang (semisal untuk belanja pemain) agar tidak merugi atau bangkrut.
Aturan FFP bertujuan untuk menghindari klub mengalami kerugian besar dan terlilit hutang, terlebih pada era sepak bola modern saat ini banyak tim rela gila-gilaan saat belanja pemain.
Kebiasaan tersebut pun bisa mengakibatkan sebuah tim mengalami kebangkrutan, entah karena pemain gagal memberikan gelar juara hingga tim yang tidak mampu membayar gaji para pemainnya.
Meski tujuannya baik, namun ada beberapa tim yang belum siap menerima aturan tersebut dan AS Roma menjadi salah satu tim dengan catatan negatif pasca FFP dijalankan.
Walau pada tahun 2010/11, AS Roma berdasarkan laporan keuangan yang diterbitkan oleh konsultan Deloitte pernah terpilih sebagai salah satu tim dengan pendapatan terbanyak di Italia, namun di saat yang bersamaan mereka juga mengalami kerugian cukup besar.
Di musim tersebut, AS Roma gagal membayar pinjaman bank, dan ditambah dengan tidak adanya keuntungan dari penjualan pada para pemain, membuat kerugian bersih Roma naik menjadi € 30.589.137.
Pada musim berikutnya (2011/12), pembaruan skuad yang bakal berpartisipasi dalam ajang Liga Europa malah semakin memperburuk hasil keuangan klub.
Namun sayang, perjudian AS Roma yang menggelontorkan uang hampir 50 juta euro untuk memboyong nama-nama seperti Maarten Stekelenburg, Gabriel Heinze, Miralem Pjanić, Erik Lamela, Bojan Krkić hingga Dani Osvaldo gagal berbuah manis.
Di akhir musim, AS Roma dengan para pemain mahalnya hanya mampu finish di peringkat tujuh Serie A, mencapai babak perempat final Coppa Italia, dan sialnya gagal lolos dari play-off Liga Europa.
Tidak adanya pemasukan dari ajang Liga Europa benar-benar merusak neraca keuangan AS Roma sejak 2012 silam. Meski sempat mendapat suntikan dana pada 2014, namun jumlah tersebut masih belum bisa menutupi kerugian AS Roma dalam tiga musim terakhir.
Puncaknya pada 2015, AS Roma bersama dengan Inter Milan menjadi dua klub Italia yang mendapat sanksi oleh UEFA karena melanggar peraturan Financial Fair Play.
Hukuman tersebut akhirnya kembali dicabut pada tahun 2018 setelah Roma bisa menetralkan neraca keuangan mereka, namun harus dengan perjuangan berat yakni melepas tiga pemain kunci mereka saat itu.
Pada tahun 2017, dengan berat hati AS Roma menjual Mohamed Salah ke Liverpool seharga 42 juta euro (sekitar Rp 638 miliar), lalu gelandang Leandro Paredes ke Zenit Saint Petersburg seharga 23 juta euro (sekitar Rp 350 miliar), dan yang terakhir bek Antonio Rudiger ke Chelsea seharga 35 juta euro (sekitar Rp 532 miliar).
Penjualan tersebut mendapat kecaman berbagai tifosi Roma, bahkan mereka meminta Presiden klub James Pallotta dan Direktur Olahraga Monchi mundur dari jabatannya. Namun Pallotta menjelaskan, bahwa yang ia lakukan untuk kebaikan klub agar bisa terhindar dari jeratan FFP.
"Kami melakukan penjualan-penjualan itu demi Financial Fair Play. Monchi bekerja dengan sangat baik, kami punya rencana bersama dan kami mendiskusikan segalanya bersama-sama," ujar Pallotta yang dikutip Soccerway.
*Segera daftarkan diri anda di situs slot online terpercaya QQMulia dan dapatkan banyak bonus & promo setiap harinya.
Komentar
Posting Komentar